Kamis, 22 September 2016

Kopi [2/2]

Gemuruh angin kencang menambah riuh. Gundah dihatiku semakin merambat jauh. Aku tersudut dikeheningan malam menunggu rindu. Menghempaskan seluruh tubuhku di perapian rembulan, menambah hangat keadaan hati. Lalu aku bersandar menghampiri. Hingga saatnya nanti, kau yang biarkan aku pergi.
Setidaknya aku masih bisa bertukar cerita pada sendu. Bukan lagi dirimu yang berpindah dari titik singgah yang kau setujui. Atau mungkin dari arah yang akupun tak tau. Hingga lekat dalam cangkirmu seketika bersih tak berpenghuni.

Terasa dingin malam itu, aku jadi serba salah menempatkan diriku.
Aku mendadak melamunkan kopi, kebiasaan burukmu setiap pagi. Kau racik sendiri sesukamu, biar enak rasanya katamu. Padahal nyatanya kopimu tetap saja pahit. Sepahit rindu yang sesakan dada. Melambungkan asa berurai kecewa. Sampai aku tak sanggup memikul banyak hal. Hingga akhirnya kopimu yang menertawakanku disela-sela cangkir terdalam.

"Ada satu hal yang mampu diungkapkan oleh kopi namun tidak bisa diutarakan oleh hati" ucapmu diujung kepahitan tetesan terakhir kopimu. Aku tersontak menatap ragu kearahmu. Namun kau alihkan pada sisa-sisa kopimu. Aku diam saja, tidak mau berkomentar. Biar kopi yang ungkapkan semuanya.

Dipinggiran gelas bekas kopi; tersirat kelam rindu mengubah warna. terbesit dalam benakku secangkir kosong ini akan kuhilangkan ampasnya, namun kau melarangku. "Biar aku saja yang tau seberapa pekatnya cangkirku" kau merebut pelan dari genggamanku. Seolah kopimu bukan untuk dinikmati sembarang orang.

Ini semua tentang rindu, tentang kopi yang kau nikmati sesaat sendu. Tentang kopi yang selalu tau isi hatimu. Bukan lagi aku. Atau bahkan diriku. Hanya kau, kopimu dan juga dirimu.

Gemuruh hilang, berganti hujan. Menambah kelam suasana ditengah malam. Gemericik air tertumpah ruah menggenangi kedua pipiku. Rintiknya menghentakkan jiwa, merenggut sisa-sisa kesal dalam ampas cangkir keduamu. Kau masih melanjutkannya bersama hujan, menghidangkan secangkir berbeda untuk sendu selanjutnya. Namun masih pekat dan pahit tentunya. Aku geram, tak jua kau bersihkan, tidak samasekali kau hilangkan ampasnya. Sampai hujan reda, dan amarahku menipis, kau masih saja merayu mesra kopimu, memeluk lengkungan hangat ujung cangkir itu, Sampai tak tersisa. Habis. Namun masih berpenghuni.

"Aku tidak akan membiarkannya kosong tak berpenghuni hingga kau benar-benar pergi setelah kau cicipi kopiku"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar