Rabu, 30 November 2016

RENJANA

Kau renjana
Pengikat asa
Pencipta gundah gulana
Di keheningan malam menyala

Jika kau ingin ingkar
Maka ingkarlah
Sebab aku telah mati
Bersama renjana dan jiwa yang sepi

Ah, sesaat aku tanpa arah
Bukan karna amarah
Namun aku di permainkan
Tersebab renjana yang berkeliaran

Mengapa ada perasaan yang seolah katup
Mengelilingi ruang redup
Serta merta mengoyak meraup
Tanpa peduli mati atau hidup

Kau renjana
Pemimpin rasa yang terlanjur ada
Pencipta segala muara
Pecandu ilusi yang tiada kentara

Tidak apa jika berlalu
Aku pun tidak mau terlalu
Karna cinta yang menguatkanku
Telah hilang dan letih menunggu

Jumat, 04 November 2016

Sekalipun jangan.

Jangan kau sesali pamitmu. Karna aku masih setia dengan inginku; Bersamamu. Bukan aku melagu pada kelabu. Aku hanya merindu pada biru. Bukan aku meratapi sendumu. Namun aku mengadu. Pada genangan air mataku. Yang tertumpah ruah memenuhi cawan cintaku.

Kini, kita hanya sekumpulan angan yang sempat terbentuk sempurna namun hancur seketika. Kita pernah merangkainya dengan seksama. Namun rapuh kedua tangan kita. Hingga hati memilih untuk mendobraknya saja. Biar lebur. Berserakan. Lalu merasakan pedih bersamaan. Sesakit apapun kau, aku sama sesaknya denganmu. Tidak berkurang sedikitpun.

Aku nampak terisak dihadapanmu, namun kau masih diam dengan tatap. Kosong kedua matamu mengarah. Mungkin didalam sana kau menyimpan banyak luka. Atau mungkin sesak yang tiada tara.
Aku menatapmu lekat-lekat, ada aroma kesedihan yang ingin kau tumpah ruahkan. Namun tertahan karna gengsimu. Katanya lelaki tidak pantas menangis. Tidak keren. Lalu, ingin dipendam saja hingga sesak semakin membahana? Ledakan saja tangisnya. Tidak ada yang peduli bukan? Hanya ada aku dan kau. Tidak seorangpun yang lain. Bahkan angin pun tidak perlu ikut campur. Terlebih langit, ia jauh diatas sana, mana mungkin memerhatikan. Tenang saja.

Jangan kau sesali pamitmu. Sekalipun jangan. Aku masih kukuh dengan inginku; bersamamu. Jangan kau ratapi pergimu. Sekalipun jangan.
Karna aku masih bersikeras; ingin denganmu.

Bila musim berganti. Pun petang berubah kian gelap dari biasanya. Senja ku tertutupi langit pekat. Dan ternyata ini mendung, senja ku jadi tak terlihat. Aku merangkak meraih langit, mencoba menggulung mendung. Namun perlahan hujan turun. Kali ini mendekap tubuhku sangat dingin. Aku masih menunggumu sampai langit mulai terlihat sedikit cantik dengan jingganya. Lalu perlahan aku semakin memikirkan tentangmu. Tentang caramu berbicara, caramu tertawa bahkan marahmu yang kau buat-buat. Aku masih saja tertawa di bawah dahan kenangan. Jangan kau patahkan begitu saja. Aku masih nyaman.
Kau boleh pergi kemanapun kau mau. Jika kelak tak kau temukan pelangi setelah hujan, maka kembalilah. Langitku masih berlukiskan pelangi indah; seindah rindu yang kau getarkan. Jika kau berkenan, singgahlah walau hanya sepekan. Pelangiku masih tersusun sempurna. Tidak bertukar warnanya. Hanya saja semburat cahayanya mungkin telah memudar semenjak kau tinggal pergi. Sendirian di belantara jiwa ini. Hingga malam menjelma. Nyata.


Aku duduk melingkarkan kaki. Diatas meja telah tertumpuk sejumlah rasa, asa bahkan sendu yang meluap-luap mengelilingi sendu.  Entah akan diisi apa lagi kekosongan ini. Rindu sudah teramat padat. Benci pun rasanya terkalahkan. Berceceran membekas di atas meja. Hatiku masih tetap kosong. Lengang. Tidak ada yang berlalu lalang. Apalagi sekedar singgah walau satu malam. Bawa saja  Biar di isi hujan deras. Basah hingga tertumpah.

Hendak pukul berapa kau datang? Jangan buat aku menunggu hingga tengah malam. Dinginnya udara akan semakin menusuk-nusuk. Mantel ku tertinggal di jalanan. Jangan biarkan beku segenap darahku. Karna hujan tak lagi turun. Bahkan senja tak terjamah indahnya. Apalagi berharap pelangi datang.

Tapi tenanglah kasih. Tuhan selalu punya waktu yang tepat untuk membawa senja bertemu dengan pelangi.


Selasa, 01 November 2016

BUNGKAM

Biar aku terbungkam.
Terkunci rapat kedua bibirku.
Tak perlu kau mendekat.
Hempaskan saja amarahmu.
Biar aku dengar baik-baik caci maki itu.
Hingga aku tersisihkan dari kata yang ku agungkan.

Otakku masih dangkal.
Belum bisa bertindak benar.
Sama sekali tidak.
Tidak seencer otak para petinggi negeri.
Luapkan hingga rontok kata-katamu.
Atau musnah semua cacianmu.
Aku masih terbungkam.

Akulah manusia paling ceroboh
Memaksa argumen roboh
Menyela sudut keyakinan yang tidak kokoh
Hingga manusia ini terpaksa gontai dan tergopoh-gopoh

Kain tudungku biar melekat
Tidak usah kau copot nekat
Aku hanya ingin berangkat
Menjemput cita-cita yang ku ikat kuat
Di penghujung dermaga memikat

Belantara hati

Di Tengah malam.
Sudah terlelap semua cahaya.
Setiap pasang mata terpejam dipaksa.
Meredup seluruh asa
Yang belakangan berkecamuk dalam belantara jiwa.

Aku tersesat.
Di bawah dedaunan rimbun nan lebat.
Aku terkoyak.
Di terpa buasnya sebuah perasaan.

Belantara masih teramat menakutkan
Untuk jiwa yang kerap mendamba rindu.
Lebat rerumputan masih terlalu gersang
Untuk hati yang seringkali menyuarakan teduhnya sendu.

Aku memilih berdiam diri
Sampai ada yang bisa mendengar suara hati.
Dan kau? Kemana saja?
Meninggalkan ku sendiri ditengah belantara ini.
Kau pikir mudah menelusuri jalan tanpa alat penerang?
Hari sudah hampir petang. Dan kau masih belum datang.

Rabu, 19 Oktober 2016

Merayu Tuhan

Kita tidak perlu saling menjanjikan apapun. Aku berdo'a sekuat tenaga, kau berdo'a semampumu. Agar nantinya Tuhan dapat kita rayu. Untuk mengubah alur yang kita mau. Tidak terkesan memaksa, tetapi hanya berusaha. Kalau saja lusa Tuhan terbujuk rayuanku pun rayuanmu. Kembalilah.

Aku tidak mau sok tau dalam menentukan alurku sendiri, aku tidak mau seenaknya mengatur ritme hidupku. Aku hanya ingin merayu Tuhan. Memohon dengan senyum manis
dan tangis tipis. Aku tidak mau histeris dan dramatis. Biarkan Tuhan yang atur seminimalis mungkin. Biar rapih dan enak kelihatannya.
Aku tidak dapat menjanjikanmu apa-apa. Tidak dapat memastikan aku akan kembali dalam waktu cepat. Tidak dapat memastikan hatiku masih seutuh pertama kita bertemu. Tidak bisa. Aku tidak bisa berjanji. Aku sedang berusaha, berdo'a sembari merayu Tuhan. Sehingga Tuhan berikan aku waktu untuk bisa menemuimu, berikan aku hati yang masih utuh dan kokoh kecuali jika kau yang menghantamnya.

Masih dengan perasaan yang sama terhadap orang yang sama. Aku mencintaimu jauh sebelum aku menduganya. Aku mencintaimu sejak awal kita bertemu. Dalam lembutnya tuturmu. Hingga aku sendiri yang memutuskan untuk mencintai senja seperti aku mencintai diriku sendiri. Aku tidak tahu apa maksud Tuhan terlambat menghadirkanmu. Aku pun tidak samasekali tahu apa maksud Tuhan membuat perasaanku lebih cenderung ke arahmu. Yang aku tau, kau mampu merebut separuh hatiku lalu separuh lagi kau rebut perlahan dan hati-hati. Kini habislah sudah kau bawa pergi. Aku tidak mempermasalahkan itu. Aku senang seluruh hatiku ada di genggamanmu. Setidaknya kutitipkan sebentar. Lalu kau akan mengembalikannya kelak sekaligus bersama dirimu. Itu sebait do'aku kepada Tuhan.
Kali ini aku dibuat sesak dan sakit. Bukan semata-mata Tuhan tidak sayang aku. Tapi Tuhan selalu punya jalan terbaik; yang tidak pernah kita tahu.

Pergilah, aku sama sekali tak memberatkanmu. Kejar apa yang seharusnya kau kejar. Karna kelak kau akan menopang yang lebih besar dari ini.
Berlarilah, gapai segala mimpi-mimpi yang sempat kau curahkan kepadaku. Ditengah malam sepi. Saat semua orang sibuk dengan mimpinya. Kau justru asik bercerita denganku.
Aku disini masih merapatkan kedua tanganku sambil mendongakan kepala. Merayu Tuhan. Agar kau bahagia; setidaknya bersamaku.

Aku tidak mau ceroboh untuk yang kedua kalinya. Aku hanya jalani apa yang Tuhan beri tanpa protes. Karna Tuhan tahu mana yang terbaik untukku. Aku percaya, aku akan bahagia dalam dekapan yang tepat. Bukan dalam tangis dan sesak; setidaknya bersamamu.

Sudah berapa hari kau pergi? Menghindar dariku. Menghilang dari kehidupanku. Aku seperti kehabisan energi, seperti kehilangan separuh hatiku. Aku tidak nafsu makan, bahkan aku sering memarahi siapa saja. Itu karna kau telah mengambil sebagian lainnya. Entah seperti apa caranya. Aku pun tidak tahu jelas. Yang aku tau semenjak kau pergi. Aku jadi kehilangan diriku sendiri, menjadi orang lain dengan amarah yang sulit dikendalikan.

Seminggu yang lalu. Ketika kau bilang bahwa ini yang terakhir kalinya kita bertemu. Aku jadi serba salah mengatur perasaanku. Aku jadi kebingungan menentukan arahku. Kau buyarkan harapan yang sempat aku pahat sendiri. Bersama ribuan rindu tajam. Dan sayatan sendu nan merdu namun gaduh. Aku menggapai rindu yang perlahan jatuh dari tangkai pertahananmu. Aku lihat rindu menumpuk disana. Namun akhirnya tuntas seketika. Kau jatuhkan satu persatu. Memintaku untuk mengambilnya, lalu merasakan setiap rindu berbeda irama. Ada satu rindu yang paling menggebu. Bahkan tersayat jiwaku mendengarnya. Aku terdiam dalam dekapmu kini.

Selalu ada gemuruh dalam hati yang tak mampu kukendalikan seutuhnya. Hanya mampu kuseimbangkan intonasinya tanpa merubah riuh harmonisasi yang ada.

Malam memang selalu jadi moment yang pas untuk bertemu. Teduhnya cahaya rembulan dan kerlap-kerlip bintang menambah ketenangan dijiwaku. Angin semilir menemani pertemuan pertama dan terakhir kita--katamu. Tahun ini memang musim hujan, hujan tidak bisa diperkirakan menggunakan perasaan. Aku berharap tidak turun hujan malam ini, karna aku punya janji menemuimu.
"Kira-kira malam ini hujan tidak ya?" ucapmu.
"Malam ini tidak akan hujan. Tuhan mengijinkan kita bertemu." aku meyakinkanmu.

Kita punya banyak kesamaan. Dari mulai makanan hingga group vocal favorit kita. Aku sangat suka Sate padang begitupun denganmu. Aku menggemari beberapa lagu karya Band asal Jogjakarta; Sheila on 7. Dan ada 1 lagi, kita sama-sama mengagumi kata. Kita mampu menuangkan segala gundah dan bahagia dalam kata. Kau ingat kita pernah berbalas kata? Kau sebutkan satu kata, lalu aku rangkai seindah yang kau mau. Begitupun sebaliknya. Aku sebutkan satu kata dan kau rangkai sesukamu. Aku selalu suka rangkaian katamu. Tidak ku sangka kau bisa seromantis ini.
Sekalipun nanti kau pergi, aku masih selalu ingat ritual rutin yang kita lakukan setiap hari. Kita selalu asik bercumbu dengan kata. Seperti katamu; selama kata masih mengalun indah di dirimu maka tidak ada jenuh bagiku.

Kemelut di jiwaku masih sama. Aku tidak nyaman dengan seseorang yang terlanjur Tuhan beri. Aku sesak menahan perasaanku. Aku menangis setiap malam seringkali mengingatmu. Menyesali keputusanku. Namun nyatanya aku harus tetap jalani. Karna aku yang sudah memilih. Ku akui aku sangat ceroboh. Akan kuperbaiki semua ini. Tapi aku tidak bisa berjanji. Biar Tuhan yang beri aku waktu.
Aku ingin kau dekap erat sekali saja. Menangis di pelukmu sembari menceritakan kegundahanku. Aku benar-benar penat. Bawa aku pergi. Dari bisingnya dunia ini. Aku hanya ingin bersamamu; mendongakkan kepala, merapatkan kedua tangan sembari merayu Tuhan.

Sabtu, 15 Oktober 2016

Nomormu masih yang lama kan?

Aku mencintai seseorang hari kemarin. Namun tidak untuk hari ini. Ketika aku memutuskan mendongak pada langit. Melihat secercah kebahagiaan yang terlukis disana. Langit melukis wajah tampanmu. Membuat aku lupa akan cinta yang kutanam kemarin pada seseorang yang berbeda. Aku seolah terdiam. Masih dengan langit cerah. Seolah mengisyaratkan ada harapan yang bisa aku gapai pada orang sepertimu. Aku kembali beranjak dari zona ku. Menyusuri teka-teki yang telah Tuhan buat. Mencoba memecahkan ragu yang berkecamuk dalam hati. Meyakini perasaan terdalam bahwa cinta sesungguhnya tidak bisa dipaksakan. Aku jenuh. Risih. Tidak sanggup menahan sesakku. Sudah penuh luka sepertinya. Namun kau menyadarkanku bahwa takdir tidak mungkin kita lawan. Kita hanya mampu berdo'a sekuat-kuatnya hingga alam dengar rintihan kemelut dalam dada. Aku menahan sesakku sama seperti menahan inginku merubah takdir. Sakit rasanya. Bergejolak bagaikan air mendidih. Merusak seluruh nyamanku. Membuat fikiran tak menentu.
Aku mungkin tidak bisa melawan takdir. Aku pun tidak mau sok tau dalam menentukan jalan hidupku. Namun kau selalu bilang kekuatan do'a itu tiada duanya. Aku berjanji padamu akan terus berdo'a untuk segenap rasa yang selalu kualunkan dalam rindu, kubenamkam dalam sendu. Hingga sesak semakin berkurang karna kau mampu mendekapku dengan sekumpulan asa yang kau miliki. Kau yakinkan bahwa Tuhan tidak akan mungkin membuat kita sakit dan sesak. Aku percaya itu. Sejak kau dekap aku.

Malam semakin dingin. Aku semakin resah menunggumu. Entah apa yang kufikirkan sedari tadi menunggu. Khawatir kau kecewa pada wajah asliku atau mungkin kau akan berlari begitu tahu aku tidak sesuai harapanmu. Namun tidak. Kau bukan tipikal perayu. Yang dengan mudahnya membuat kedua pipiku merah. Namun kau hanyalah manusia yang berucap tulus atas apa yang kau rasa.

Kini, kita sudah ada dipinggiran kota. Berbincang hangat. Tertawa, bergurau bahkan kau sesekali meledekku. Aku memang selalu tersipu jika kau yang bicara. Entah binar apa yang nampak dipelupuk matamu. Membuat aku kecanduan akan hal itu. Aku menatapmu. Tidak bosan sedetikpun. Kau pun menatapku. Tersenyum seperti mengisyaratkan sesuatu.
"Apa yang hendak kau utarakan? Katakan saja aku ada disini untukmu" kau berucap seolah tahu bahwa ada yang aku pendam sendiri. Aku tersenyum hangat menatapmu. Memeluk erat bola mata yang menusuk dan menggelinding di relung hati. "Kumohon singgahlah sebentar lagi. Katakan padaku bahwa kau tidak ingin melepaskanku" kedua mataku berkaca-kaca. Kau nampak sedikit terharu melihat raut wajahku yang berubah. "Aku tidak mungkin singgah lagi. Aku akan pergi. Melepasmu bersama lelaki pilihanmu. Karna jika aku mencintaimu aku tidak akan mungkin tega memperpanjang waktu singgah ini dan membuatmu semakin kebingungan nantinya."
Dalam hatiku menangis. Ingin aku teriak sekuat tenaga. Namun aku tahan hingga sesak semakin menghujam. Mungkin memang aku yang salah. Aku yang ceroboh. Terlalu cepat mengambil keputusan hingga aku sendiri yang kebingungan. Dan kau, tidak samasekali salah. Kau hanya membuka jalan lebar agar aku bisa memilih. Ini belum terlambat. Masih ada banyak waktu. Aku belum sepenuhnya mutlak memilih lelaki itu. Aku masih punya sejuta cara untuk berdo'a agar kelak jika Tuhan mengijinkan aku bertemu denganmu lagi, maka tidak akan pernah kulewatkan kesempatan terbaik dari Tuhan.
Kau boleh saja pergi. Namun cinta tahu kemana dia akan berlabuh. Berlabuh di dermaga kerinduan yang sesungguhnya pun menentramkan hati.

Dan kini, sesaat setelah kau pergi. Aku seperti kehilangan separuh hatiku. Mungkin tidak sengaja terbawa olehmu. Tersimpan didalam saku celanamu. Dan kau ambil jika kau juga rindu.

Aku akan menghubungimu, nanti. Nomormu masih yang lama kan?

A. Yunanda

Kamis, 13 Oktober 2016

Aroma Senja

Aroma basah tanah tercium dari kejauhan. Dedaunan mulai gugur perlahan jatuh hingga terendam. Basah. Dan mengalir semaunya. Sampai akhir perjalanannya, hujan masih bertahan dengan rintik-rintik, aroma tanah masih sangat khas terasa. Beberapa debu tersisa beterbangan menghindari hujan. Mencoba menjangkau daun yang masih tegap pada tangkai, namun ternyata jatuh juga. Debu hilang arah, hingga ia basah bersama tanah yang lainnya. Bergumpal hingga menyatu lalu terpisah dari kerangka aslinya. Berbincang dalam--sampai hujan paling deras menenggelamkan hingga terpisah.

Entah apa yang hendak Tuhan berikan sore ini setelah hujan. Entah apa yang hendak Tuhan tunjukan setelah daun berguguran.
Sekejap saja hujan reda, namun tetesnya masih mengalir diujung daun kering mengenai kelopak mataku yang sedari tadi rindu akan tangis, ini hanya sekedar membasahi agar tidak terlalu kusam, agar lebih ringan nantinya.
Kali ini aku terdiam. Melihat sebaris warna indah sore hari menjelang malam. Lebih indah dari aroma tanah setelah hujan, lebih indah dari dedaunan yang ikut basah mengalir deras dan tentunya lebih indah dari hujan itu sendiri. Sebut saja ia senja; hangat jika aku menatapnya, teduh jika aku merengkuhnya. Aromanya merindukanku, seperti secangkir kopi favorit siapa saja, hangat dan sangat mengesankan.

Aku jadi suka senja, entah siapa yang memulai, namun rasanya aku selalu ingin bernafas tenang ketika senja membersamai. Aku rasakan aroma kebahagiaan yang sesekali Ia tunjukan pada menit terakhir.
Pada sisa-sisa redupan matahari yang hampir tenggelam, pada tetesan akhir diujung dedaunan hingga aku yakini tidak ada yang lebih pantas bersama senja selain diriku sendiri. Sampai senja menjelma, bak seorang manusia dengan kehangatan yang tiada hentinya.