Kamis, 13 Oktober 2016

Petang me-matang

Kita punya janji. Bertemu saat petang tiba, dikediaman alam Tuhan, lalu bergurau sesuka kita. Kau bergegas menghampiriku, memastikan bahwa ini akan menjadi kenangan yang tidak akan mungkin kau lupakan. Hingga nanti, kita bertemu lagi.
Sorotan lampu senter kau arahkan tepat diwajahku hingga mengenai kedua mata. Ini masih sangat petang. Buang saja itu alat penerang. Agar bimbang tidak semakin bergelombang. Atau waktu kita akan semakin hilang. Dimakan ulat dedaunan, atau semacam hama tanaman. Petang tidak selalu sirna, ia masih terang dengan kunang-kunang bahkan cahaya mata orang-orang. Kita berjalan menyusuri petang, belum ada tanda-tanda malam datang, hanya segaris sunset ditengah sawah pematang. Sunset belum habis, masih terang dan bimbang untuk tenggelam. Kau berjalan masih seirama denganku, kaki kananmu beriringan dengan kananku. Seirama namun tetap saja pandangan kita berbeda, kau mendongak terpukau pada senja yang awet, aku tertunduk memerhatikan jalan, khawatir kita akan salah arah. Petang sunyi. Sunset semakin turun jauh. Dan kau semakin riuh, Meneriaki sajak kampungan disisa waktu. Mengatur bait yang tidak beraturan. Sesukamu. Walau berantakan. Tapi aku suka. Petang jadi tidak terlalu sunyi. Karna kau bergumam sendiri. Sambil sesekali menyikut lenganku. Lalu aku tertawa bersamamu.
Kita hampir sampai, pada tujuan yang semestinya. Tepat sekali ketika sunset benar-benar habis dan kau malah menangis. "Tenang saja, petang masih ada esok hari dan hari-hari berikutnya" aku menenangkanmu agar tidak semakin terisak, namun kian menjadi. Jika kau menangis, menangis dan terus menangis, kita akan terlambat sampai di perapian rembulan, kau akan kedinginan nantinya. Pegang saja tanganku agar kau tidak tersesat.
Aku rasakan bahuku semakin basah karna ulahmu. Raut wajahmu berubah. Suaramu kian parau. Seperti kehabisan energi. Kau menangis sih, coba jika kau diam saja. Tutup mulut. Dan tenang didekapku. Mungkin kita akan lebih cepat sampai di perapian rembulan. Tetapi tidak apa lah. Asal kau tidak merengek meminta sunset untuk kesekian kalinya. Aku kesulitan jika harus hadirkan sunset dibawah sinar rembulan. Dan kau harus memahami itu.

Perapian rembulan nampak lengang, tidak ada suara gaduh, kau tidak lagi merengek meminta sunset dikala petang. Hanya ada aku, kau dan sepucuk petang mematang.
"Bisakah aku menikmati petang yang lain bersamamu?" perempuan kecil itu tersenyum haru menatapku. "Tentu saja." Aku mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar