Aku mencintai seseorang hari kemarin. Namun tidak untuk hari ini. Ketika aku memutuskan mendongak pada langit. Melihat secercah kebahagiaan yang terlukis disana. Langit melukis wajah tampanmu. Membuat aku lupa akan cinta yang kutanam kemarin pada seseorang yang berbeda. Aku seolah terdiam. Masih dengan langit cerah. Seolah mengisyaratkan ada harapan yang bisa aku gapai pada orang sepertimu. Aku kembali beranjak dari zona ku. Menyusuri teka-teki yang telah Tuhan buat. Mencoba memecahkan ragu yang berkecamuk dalam hati. Meyakini perasaan terdalam bahwa cinta sesungguhnya tidak bisa dipaksakan. Aku jenuh. Risih. Tidak sanggup menahan sesakku. Sudah penuh luka sepertinya. Namun kau menyadarkanku bahwa takdir tidak mungkin kita lawan. Kita hanya mampu berdo'a sekuat-kuatnya hingga alam dengar rintihan kemelut dalam dada. Aku menahan sesakku sama seperti menahan inginku merubah takdir. Sakit rasanya. Bergejolak bagaikan air mendidih. Merusak seluruh nyamanku. Membuat fikiran tak menentu.
Aku mungkin tidak bisa melawan takdir. Aku pun tidak mau sok tau dalam menentukan jalan hidupku. Namun kau selalu bilang kekuatan do'a itu tiada duanya. Aku berjanji padamu akan terus berdo'a untuk segenap rasa yang selalu kualunkan dalam rindu, kubenamkam dalam sendu. Hingga sesak semakin berkurang karna kau mampu mendekapku dengan sekumpulan asa yang kau miliki. Kau yakinkan bahwa Tuhan tidak akan mungkin membuat kita sakit dan sesak. Aku percaya itu. Sejak kau dekap aku.
Malam semakin dingin. Aku semakin resah menunggumu. Entah apa yang kufikirkan sedari tadi menunggu. Khawatir kau kecewa pada wajah asliku atau mungkin kau akan berlari begitu tahu aku tidak sesuai harapanmu. Namun tidak. Kau bukan tipikal perayu. Yang dengan mudahnya membuat kedua pipiku merah. Namun kau hanyalah manusia yang berucap tulus atas apa yang kau rasa.
Kini, kita sudah ada dipinggiran kota. Berbincang hangat. Tertawa, bergurau bahkan kau sesekali meledekku. Aku memang selalu tersipu jika kau yang bicara. Entah binar apa yang nampak dipelupuk matamu. Membuat aku kecanduan akan hal itu. Aku menatapmu. Tidak bosan sedetikpun. Kau pun menatapku. Tersenyum seperti mengisyaratkan sesuatu.
"Apa yang hendak kau utarakan? Katakan saja aku ada disini untukmu" kau berucap seolah tahu bahwa ada yang aku pendam sendiri. Aku tersenyum hangat menatapmu. Memeluk erat bola mata yang menusuk dan menggelinding di relung hati. "Kumohon singgahlah sebentar lagi. Katakan padaku bahwa kau tidak ingin melepaskanku" kedua mataku berkaca-kaca. Kau nampak sedikit terharu melihat raut wajahku yang berubah. "Aku tidak mungkin singgah lagi. Aku akan pergi. Melepasmu bersama lelaki pilihanmu. Karna jika aku mencintaimu aku tidak akan mungkin tega memperpanjang waktu singgah ini dan membuatmu semakin kebingungan nantinya."
Dalam hatiku menangis. Ingin aku teriak sekuat tenaga. Namun aku tahan hingga sesak semakin menghujam. Mungkin memang aku yang salah. Aku yang ceroboh. Terlalu cepat mengambil keputusan hingga aku sendiri yang kebingungan. Dan kau, tidak samasekali salah. Kau hanya membuka jalan lebar agar aku bisa memilih. Ini belum terlambat. Masih ada banyak waktu. Aku belum sepenuhnya mutlak memilih lelaki itu. Aku masih punya sejuta cara untuk berdo'a agar kelak jika Tuhan mengijinkan aku bertemu denganmu lagi, maka tidak akan pernah kulewatkan kesempatan terbaik dari Tuhan.
Kau boleh saja pergi. Namun cinta tahu kemana dia akan berlabuh. Berlabuh di dermaga kerinduan yang sesungguhnya pun menentramkan hati.
Dan kini, sesaat setelah kau pergi. Aku seperti kehilangan separuh hatiku. Mungkin tidak sengaja terbawa olehmu. Tersimpan didalam saku celanamu. Dan kau ambil jika kau juga rindu.
Aku akan menghubungimu, nanti. Nomormu masih yang lama kan?
A. Yunanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar