Kamis, 13 Oktober 2016

Aroma Senja

Aroma basah tanah tercium dari kejauhan. Dedaunan mulai gugur perlahan jatuh hingga terendam. Basah. Dan mengalir semaunya. Sampai akhir perjalanannya, hujan masih bertahan dengan rintik-rintik, aroma tanah masih sangat khas terasa. Beberapa debu tersisa beterbangan menghindari hujan. Mencoba menjangkau daun yang masih tegap pada tangkai, namun ternyata jatuh juga. Debu hilang arah, hingga ia basah bersama tanah yang lainnya. Bergumpal hingga menyatu lalu terpisah dari kerangka aslinya. Berbincang dalam--sampai hujan paling deras menenggelamkan hingga terpisah.

Entah apa yang hendak Tuhan berikan sore ini setelah hujan. Entah apa yang hendak Tuhan tunjukan setelah daun berguguran.
Sekejap saja hujan reda, namun tetesnya masih mengalir diujung daun kering mengenai kelopak mataku yang sedari tadi rindu akan tangis, ini hanya sekedar membasahi agar tidak terlalu kusam, agar lebih ringan nantinya.
Kali ini aku terdiam. Melihat sebaris warna indah sore hari menjelang malam. Lebih indah dari aroma tanah setelah hujan, lebih indah dari dedaunan yang ikut basah mengalir deras dan tentunya lebih indah dari hujan itu sendiri. Sebut saja ia senja; hangat jika aku menatapnya, teduh jika aku merengkuhnya. Aromanya merindukanku, seperti secangkir kopi favorit siapa saja, hangat dan sangat mengesankan.

Aku jadi suka senja, entah siapa yang memulai, namun rasanya aku selalu ingin bernafas tenang ketika senja membersamai. Aku rasakan aroma kebahagiaan yang sesekali Ia tunjukan pada menit terakhir.
Pada sisa-sisa redupan matahari yang hampir tenggelam, pada tetesan akhir diujung dedaunan hingga aku yakini tidak ada yang lebih pantas bersama senja selain diriku sendiri. Sampai senja menjelma, bak seorang manusia dengan kehangatan yang tiada hentinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar