Kau masih terlalu muda, masa remajamu akan terenggut begitu saja" Ayah berucap seolah tak punya Tuhan. Tertawa kecil bak seorang lelaki yang tidak menginginkan anaknya bahagia.
Perlahan aku mundur, tak aku dengar ucapan Ayah. Ingin rasanya kututup telinga. Menganggap Ayah samasekali tidak pernah mengucapkannya.
Keesokan harinya masih sama, berlanjut sampai hari-hari berikutnya. Ayah masih terus mengoceh. Ayah tidak tau kan apa yang akan Tuhan berikan kepada kita, Lantas Ayah mengapa harus takut masa remajaku terenggut? Macam tidak punya Tuhan saja. Kesal dibuatnya kepalaku serasa hampir meledak.
Ketika malam hari, rasa kesal di jiwaku meledak. Hampir saja aku benci Ayahku. Hampir saja habis celahku untuk cinta Ayah.
"Ayah tekankan kepadamu nak, usiamu masih muda, kau masih bau kencur masih kekanak-kanakan"
"Ayah, jika semua itu diukur dari usia, mungkin orang-orang jaman dulu tidak mungkin punya anak dan bahagia. sama seperti Ayah. "
Hingga akhir perjalanan debatku dengan Ayah. akhirnya Ayah mengalah. Kulihat kedua matanya berbinar, nampak kesedihan yang Ia tahan. Ingin rasanya aku bertanya.
"Mengapa Ayah bersikap demikian?" tanyaku sendu. hampir habis suaraku.
"Seorang Ayah tidak akan semudah itu melepas gadis kecilnya. Meskipun usiamu bertambah, Ayah masih menganggapmu putri kecilnya. Itulah sebabnya Ayah selalu bilang kau masih terlalu muda untuk memulai segalanya" aku menyerap ucapan wanita paruh baya itu.
Aku menangis sejadi-jadinya. Menganggap diriku bodoh sekali tak paham maksud Ayah. Menghiraukan Ayah dengan acuhnya. Menganggap Ayah jahat dan hampir saja kebencian tertanam lebat di benakku. Aku yang salah. Aku yang patut Ayah benci.
Malam menjelang, kulihat kerutan di dahi Ayah ketika terlelap. Sudah separuh abad Ayah hidup, Superhero yang aku cintai seumur hidupku kian renta saja. Aku menangis terisak-isak. Menatap Ayah lebih dekat lagi. Lalu kukatakan betapa aku mencintai pahlawan superku.
Kini aku tau, ada banyak alasan mengapa Ayah begitu. Karna seorang Ayah tidak ingin kehilangan putri kecilnya.
Bahkan ketika acara pernikahanku, Kulihat Ayah terisak haru. Mencoba menahan air matanya, tapi justru kian deras.
Ku peluk Ayah erat. Sebenarnya Ayah bukan tak ingin aku bahagia, tapi Ayah hanya ingin bermain bersama seperti waktu aku belum bisa merangkak.
"Ayah punya Tuhan nak, maka Ayah tidak takut jika kau tidak bahagia."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar