Bukankah selalu ada pelangi setelah hujan? Bukankah kau menantikannya setiap kali deras hujan membasahi relung jiwamu? Aku menanti pelangi sama seperti yang kau lakukan--persis sekali.
Boleh saja jika esok pelangi tidak akan tiba. Aku tetap menikmati hujan tanpa terlewati pun setetesnya.
Mengenang wajah sendumu ketika sore hari dengan sebait puisi yang aku rangkai, berharap senjaku akan tetap indah tersenyum manis.
Aku masih mengingat raut bahagiamu ketika malam hampir habis, sesaat hampir kau terlelap kau ucapkan kata maaf berulang-ulang, sambil tertawa menepuk pundakku.
"Kau akan tetap jadi pujangga tampan dihidupku" katamu terisak haru.
Aku tidak ingin menangis di batas akhir senja, tapi kau yang buat aku menangis.
Kau pelangi terindah yang pernah aku temui. Bahkan ketika hujan sama sekali tidak turun, kau tetap pelangi yang singgah cukup lama hingga aku dengan mudahnya mengingat kilau warnamu.
Hingga pelangi benar-benar malu menampakan dirinya, kau pun mulai ragu dengan pujangga andalanmu ini.
Hujan memang turun, tapi yang kudapat setelahnya bukan pelangi melainkan langit berawan pekat.
Kau murung ditepi mendung, kau jenuh diujung senja. Namun aku akan tetap disisi hujan menanti pelangi dengan warna-warninya yang memukau.
Sudah saatnya kau tau bahwa pelangi tidak bisa disandingkan dengan mendung. Akan hilang indahnya. Karna yang aku tau pelangi itu indah sekalipun hanya tinggal sesaat.
"Aku tidak ingin jadi pelangi bagi seorang langit, terlebih ketika hujan usai. Aku hanya ingin jadi inspirasi di tiap bait puisi indahmu"
Mendungmu biar jadi pesona indah dilangitku, Cerahmu akan tetap jadi alasan mengapa pelangi bisa muncul dimalam hari--dan hanya pada bait puisi milik pujangga tampanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar