KALAU SAJA SORE ITU...
Ada yang tau apa arti kata ”Rindu”?
Jika ribuan bintang di
atas sana mampu mewakilinya, maka ia kusebut rindu. Aku selalu rindu pada cara
Tuhan menggenggam tanganku erat ketika dunia tampak menyilaukan, cara Tuhan
memelukku kencang seakan-akan tau ada banyak rindu tak beralasan nantinya yang
akan menyebabkan pilu teramat dalam. Maka aku ingin teramat rindu pada sesuatu
yang pantas aku rindukan.
...
Akhir pekan ini malam memang tak begitu indah seperti rindu
yang di dambakan, bintang-bintang tidak menampakkan sinarnya seperti rindu yang
di ibaratkan, yang ada hanya hembusan angin bertubi-tubi menusuk ke dalam
tulang belakang punggungnya. Dia Daffa;
lelaki tampan berkumis tipis dengan tahi lalat di keningnya itu terdiam,
sendiri.
Beberapa daun berjatuhan mengotori pekarangan rumah, bunga-bunga
begitu kering tak bermekar, mawar putih favoritnya pun layu menambah kekacauan
dalam pikiran. Bagaimana bisa ia layu
padahal selalu ku rawat setiap hari?
Ia terdiam menatap langit, ada kebahagiaan disana ketika
satu persatu cahaya berkedip mengisyaratkan sesuatu, Ia tau malam ini tak
seindah kemarin ketika perempuan pujaan hatinya menggenggam erat kedua tangannya,
mereka seolah mengucap janji satu sama lain. bahkan ketika Daffa mengingatnya
pun ia tak kuasa menahan kelopak mata yang telah di penuhi butiran air.
“Maafkan aku, kalau saja sore itu kau datang tepat waktu
mungkin tidak akan seperti ini jadinya” tukas wanita itu di seberang telepon di
iringi isak tangis yang menambah kacau fikirannya. Daffa termasuk lelaki yang
cukup tegar, terlebih ketika kepergian ibunya 2 tahun silam. Tapi baru kali ini
air mata berlinang deras di pipinya.
Tuhan... kalau saja
sore itu hujan tidak turun, ia tidak akan menerbangkan payungku. Kalau saja
sore itu hujan tidak turun ia tidak akan menghancurkan semuanya, aku menggigil
kedinginan di bawah derasnya hujan, kau pergi begitu saja tanpa menoleh ke
arahku, “heiiiiii... aku meneriaki namamu” tanpa sadar ia terkulai lemas di pinggir halte
masih dengan kemeja bermotif kotak kotak dengan setangkai bunga di
genggamannya.
“Mas, mas. Gelandangan ya?” seraya menepuk-nepuk pundak
lelaki penuh penyesalan itu.
Dia tersadar begitu melihat banyak kerumunan orang
mengelilinginya.
“Saya bukan gelandangan pak, tadi malam saya kehujanan, saya
juga tidak tahu mengapa saya bisa ada disini” ucapnya heran
“Ya sudah, pulang sana. Sebelum petugas menggusurmu”
Ya tuhan, bagaimana
bisa cinta membodohiku seperti ini, kenyataannya aku seperti orang gila yang
mengemis makanan tanpa rasa malu. Ucapnya dengan perasaan kesal yang amat
dalam.
...
“Kak Daffa?” suara seseorang membuyarkan lamunannya
Ia menoleh ke sumber suara, menatap penuh haru.
“Kenapa dek? Tidur sana dek udah malam besok kan kamu
sekolah” tukasnya seraya mengusap lembut rambut adiknya. sebut saja Revan.
Dengan sigap Revan duduk tepat di sebelah kakak satu-satunya.
“Revan bukan anak kecil lagi kak yang sering kakak bohongin
masalah uang jajan, Revan udah gede kak. Revan tau kakak lagi ada masalah”
Revan menatap penuh haru seakan tau apa yang di rasakan lelaki bermental tempe itu.
Dengan berlinang air mata dia memaksa adik semata wayangnya
itu keluar dari kamarnya. “Ah cengeng!”
teriak Revan lantang.
Malam itu tepat 3 tahun hari jadi Daffa dengan Shilla;
wanita pujaan hatinya yang begitu tega meninggalkannya tanpa alasan yang logis.
Wanita yang ia banggakan dengan segala tingkah polahnya, wanita yang selalu
menemaninya dalam segala kondisi, berjanji selalu bersama dalam suka maupun
duka, wanita yang pernah ia kenalkan kepada keluarga dan teman-temannya.
1 hal yang masih membekas perih di hatinya, messege terakhir
dari Shilla ketika hujan sore itu.
From: Shilla. 16.43
jangan temui aku lagi, aku bukan untukmu
Muak aku di buatnya, sore itu rasanya ingin ku hancurkan
mawar putih favoritmu.
To be continue.
To be continue.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar