Kamis, 28 Januari 2016

KALAU SAJA SORE ITU...






KALAU SAJA SORE ITU...

Ada yang tau apa arti kata ”Rindu”?
Jika ribuan bintang di atas sana mampu mewakilinya, maka ia kusebut rindu. Aku selalu rindu pada cara Tuhan menggenggam tanganku erat ketika dunia tampak menyilaukan, cara Tuhan memelukku kencang seakan-akan tau ada banyak rindu tak beralasan nantinya yang akan menyebabkan pilu teramat dalam. Maka aku ingin teramat rindu pada sesuatu yang pantas aku rindukan.
                                                                                                ...

Akhir pekan ini malam memang tak begitu indah seperti rindu yang di dambakan, bintang-bintang tidak menampakkan sinarnya seperti rindu yang di ibaratkan, yang ada hanya hembusan angin bertubi-tubi menusuk ke dalam tulang belakang punggungnya. Dia Daffa; lelaki tampan berkumis tipis dengan tahi lalat di keningnya itu terdiam, sendiri.

Beberapa daun berjatuhan mengotori pekarangan rumah, bunga-bunga begitu kering tak bermekar, mawar putih favoritnya pun layu menambah kekacauan dalam pikiran. Bagaimana bisa ia layu padahal selalu ku rawat setiap hari?

Ia terdiam menatap langit, ada kebahagiaan disana ketika satu persatu cahaya berkedip mengisyaratkan sesuatu, Ia tau malam ini tak seindah kemarin ketika perempuan pujaan hatinya menggenggam erat kedua tangannya, mereka seolah mengucap janji satu sama lain. bahkan ketika Daffa mengingatnya pun ia tak kuasa menahan kelopak mata yang telah di penuhi butiran air.


“Maafkan aku, kalau saja sore itu kau datang tepat waktu mungkin tidak akan seperti ini jadinya” tukas wanita itu di seberang telepon di iringi isak tangis yang menambah kacau fikirannya. Daffa termasuk lelaki yang cukup tegar, terlebih ketika kepergian ibunya 2 tahun silam. Tapi baru kali ini air mata berlinang deras di pipinya.

Tuhan... kalau saja sore itu hujan tidak turun, ia tidak akan menerbangkan payungku. Kalau saja sore itu hujan tidak turun ia tidak akan menghancurkan semuanya, aku menggigil kedinginan di bawah derasnya hujan, kau pergi begitu saja tanpa menoleh ke arahku, “heiiiiii... aku meneriaki namamu”  tanpa sadar ia terkulai lemas di pinggir halte masih dengan kemeja bermotif kotak kotak dengan setangkai bunga di genggamannya.


“Mas, mas. Gelandangan ya?” seraya menepuk-nepuk pundak lelaki penuh penyesalan itu.
Dia tersadar begitu melihat banyak kerumunan orang mengelilinginya.
“Saya bukan gelandangan pak, tadi malam saya kehujanan, saya juga tidak tahu mengapa saya bisa ada disini” ucapnya heran
“Ya sudah, pulang sana. Sebelum petugas menggusurmu”

Ya tuhan, bagaimana bisa cinta membodohiku seperti ini, kenyataannya aku seperti orang gila yang mengemis makanan tanpa rasa malu. Ucapnya dengan perasaan kesal yang amat dalam.

 ...

“Kak Daffa?” suara seseorang membuyarkan lamunannya
Ia menoleh ke sumber suara, menatap penuh haru.

“Kenapa dek? Tidur sana dek udah malam besok kan kamu sekolah” tukasnya seraya mengusap lembut rambut adiknya. sebut saja Revan.
Dengan sigap Revan duduk tepat di sebelah kakak satu-satunya.

“Revan bukan anak kecil lagi kak yang sering kakak bohongin masalah uang jajan, Revan udah gede kak. Revan tau kakak lagi ada masalah” Revan menatap penuh haru seakan tau apa yang di rasakan lelaki bermental tempe itu.

Dengan berlinang air mata dia memaksa adik semata wayangnya itu keluar dari kamarnya.  “Ah cengeng!” teriak Revan lantang.

Malam itu tepat 3 tahun hari jadi Daffa dengan Shilla; wanita pujaan hatinya yang begitu tega meninggalkannya tanpa alasan yang logis. Wanita yang ia banggakan dengan segala tingkah polahnya, wanita yang selalu menemaninya dalam segala kondisi, berjanji selalu bersama dalam suka maupun duka, wanita yang pernah ia kenalkan kepada keluarga dan teman-temannya.

1 hal yang masih membekas perih di hatinya, messege terakhir dari Shilla ketika hujan sore itu.





 From: Shilla. 16.43
jangan temui aku lagi, aku bukan untukmu

Muak aku di buatnya, sore itu rasanya ingin ku hancurkan mawar putih favoritmu.



To be continue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar