Aku, Kau, Mereka dan siapapun yang ikhlas singgah di persimpangan kala itu. Sunyi, senyap. hanya kepulan asap sesal di masa lalu yang tidak ingin kuhirup akhirnya merata hingga tepinya pun tak nampak.
Aku enggan beranjak. karna kupikir selesai sudah hidupku, dirundung rasa takut akan khayalan yang pernah menyeruak memenuhi ruang mimpiku. Aku tidak akan mampu bermimpi setelah lenyap semua.
Kala itu hujan sangat deras, melebihi bisingnya suara mesin mobil era 80an, atau lebih kacau lagi dibanding mesin parutan kelapa. Aku berteriak sebisaku berharap kau mendengar. Tetapi semua lenyap seolah ditelan bumi. Kau tak mendengar, akupun tak memahami maksudmu. Hingga akhirnya hujan pergi, kau malah ikut hilang. Bersama hujan dan halte bus yang mendadak kosong.
Sesal tiada arti. Menangis pun rasanya takkan membuatmu kembali. Hanya ketika hujan, aku mampu memahami bahwa pertemuan tidak bisa diganti dengan apapun.
Hujan, halte bus, persimpangan jalan dan jarak yang membatasi; saat dimana aku mulai merasa sendu dan rindu. Kau yang kutunggu tak jua bertamu. Mungkin karna kau tau jarak hanya untuk membelenggu.
"Sering sekali aku melihatmu duduk di halte ini tapi tak pernah menaiki bus" celetuknya sembari menguyah permen karet beraroma anggur.
"Aku menanti kabar seorang teman, selalu saat hujan turun, sama seperti ini"
" Bagaimana mungkin kau anggap ia teman jika setiap hujan ia samasekali tak berusaha menunggu"
lelaki itu masih mengunyah permen karet. aroma anggur semakin menyengat. Aku menyeringai. Menutup hidung.
"Eh, Maaf jika kau tak suka aromanya. Kupikir ini yang paling enak"
Sejak hujan itu, aku mengerti. Bahwa aroma anggur lebih menyenangkan dibanding hujan itu sendiri.
Seminggu berlalu. Halte hujan--ya aku menyebutnya demikian, Masih ramai penduduk berlalu lalang. Aku selalu tepat waktu, kulihat dirimu dikeramaian. Ransel biru mu nampak kontras dengan warna jilbab oranye-mu. Apakah kau melihatku? bahkan untuk tersenyum pun mustahil bagiku. Kau hilang ketika hujan hampir reda. Pas sekali.
Bisakah kau singgah hingga senja datang? atau setidaknya sampai kau tertinggal bus yang kedua. Aku tak memaksa, jika kau tak suka dengan caraku merindukanmu maka berbaliklah tanpa menoleh sedikitpun.
"Caramu merindukan sangatlah menarik. Kau terdiam. Tanpa Bicara. Kau biarkan Ia juga rinduimu."
"Mengapa aku tidak mencium aroma anggur ketika kau datang" aku tertawa hampir terbahak-bahak.
"Sudah tidak ku konsumsi lagi permen karet berbau anggur yang amat kau benci" wajahnya mendadak murung.
"Siapa bilang? Boleh ku pinta 1 yang aroma anggur?"
Lelaki manis itu dengan senang hati memberikan sebungkus permen anggurnya kepadaku.
Halte hujan.. Apa kabarmu? Apa kabar Ransel biru? Apa kabar Jarak? apa kabar apa kabar apa kabar. Apa kabar Aroma anggur?
Satu bulan berlalu, aku masih suka aroma anggur. kau masih suka hujan deras? Aku ingin katakan padamu, bahwan sebenarnya bukan jaraklah yang membelenggu tapi hati kita yang teramat beku. Untuk bertemu pun rasanya sulit. Tersenyum sedikit saja kau amat pelit.
Masih tentang kawan Ransel biru yang kukenal dihari Minggu. Namun rasanya minggu ataupun sabtu, tidak ada bedanya.. Kau masih saja membisu dengan jarak yang katamu membelenggu.
Biarlah hujan deras, agar tempat itu tetap kusebut Halte hujan. biarlah jarak sejauh apapun, agar aku mengerti apa maksudmu membelenggu. Biarlah aroma anggur menyeruak di sekelilingku, agar aku tau kau pun tau bahwa aroma anggur lebih menyenangkan dibanding menunggumu di kala hujan deras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar